Kamis, 14 Mei 2009

Pendidikan

Hilangkan Anggapan Bahwa Pendidikan adalah barang Mewah


Maraknya perguruan tinggi negeri yang berlomba-lomba membuka jalur khusus dengan memasang tarif mahal memancing banyak reaksi masyarakat. Apalagi hal itu terjadi di tengah sulitnya perekonomian rakyat. Otonomi perguruan tinggi mengharuskan PTN-PTN untuk menghidupi diri sendiri. Memang subsidi pemerintah pusat berkurang drastis sejak perubahan statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Biaya studi tiap mahasiswa per tahun sebesar Rp 18 juta, sementara subsidi pemerintah hanya Rp 4 juta. Artinya ada kekurangan sebesar Rp 14 juta per mahasiswa per tahun yang harus ditanggung PT yang bersangkutan.

Kondisi inilah yang melandasi munculnya pembukaan jalur khusus yang menuntut sumbangan berkisar Rp 15 juta hingga Rp 150 juta yang oleh banyak kalangan dinilai sangat beraroma bisnis, tidak etis dan bisa menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Ini sungguh memprihatinkan. Untuk memperoleh pendidikan mesti dibayar dengan harga yang sangat mahal. Padahal pendidikan semestinya hak semua orang, namun kini telah menjadi ‘barang mewah’. Tidak semua orang mampu mengecap pendidikan yang baik, meski sebenarnya otaknya cemerlang.

Biaya pendidikan yang mahal itu ternyata bukan hanya monopoli pendidikan tinggi. Hampir semua sekolah yang baik (bermutu/unggulan) di semua tingkatan—dari TK, SD, SMP hingga SMU—kini juga mengenakan biaya yang tinggi. Untuk mendaftar di TK (unggulan) saja biayanya bisa mencapai ratusan ribu hingga beberapa juta rupiah. Apalagi untuk tingkat yang lebih tinggi. Persoalannya senada, bahwa subsidi pemerintah demikian kecil sehingga tak mampu menutup biaya operasional pendidikan. Jika sudah demikian maka biaya yang mahal tersebut dilimpahkan kepada peserta didik. Dengan biaya yang begitu mahal, tentu hanya anak orang-orang kaya saja yang bisa menikmati pendidikan yang baik (bermutu). Lalu bagaimana dengan anak-anak dari orang tua yang kurang mampu. Keluarga tak mampu ini justru jumlahnya bisa berlipat beberapa kali dibanding dengan jumlah mereka yang mampu.

Bagi institusi pendidikan hal ini memang cukup dilematis. Di satu sisi harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bantuan pemerintah yang semakin sedikit, dan di sisi lain harus tetap mempertahankan citranya sebagai lembaga pendidikan yang tetap harus memberikan tempat untuk mereka yang kurang mampu tetapi memiliki potensi. Harus diakui bahwa faktor biaya selama ini merupakan kendala utama bagi keluarga tak mampu untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Otak boleh cemerlang, namun bila tak ada uang, cita-cita pun hanya di awang-awang.

Tingkat pendidikan yang rendah bagi kebanyakan masyarakat Indonesia inilah yang menyebabkan SDM kita kurang mampu bersaing. Kita lihat, misalnya tenaga kerja kita—baik tenaga kerja wanita (TKW) maupun pria—yang bekerja di luar negeri. Kebanyakan mereka hanya sebagai pembantu rumah tangga, kuli atau tenaga kasar lainnya. Dibandingkan dengan tenaga kerja di sejumlah negara lain yang kondisi ekonominya hampir sama dengan Indonesia, kita ini sudah banyak ketinggalan. Tenaga kerja Filipina misalnya, kebanyakan adalah profesional di bidangnya—baik perawat maupun mekanik. Sedangkan Mesir, hampir semua tenaga kerjanya yang bekerja di luar negeri adalah tenaga-tenaga ahli: guru, dosen, dokter dan sebagainya. Keprofesionalan tenaga kerja selain akan menyumbangkan devisa negara yang lebih baik, juga tentu saja menyangkut harkat dan martabat suatu bangsa. Bagi negara Mesir, pendidikan sudah dianggap seperti udara dan air. Sesuatu yang mudah didapatkan. Dengan begitu, pendidikan adalah hak setiap orang, hak setiap warga. Karena itu mereka menggratiskan biaya sekolah dari sejak SD hingga universitas.

Namun di Indonesia, pendidikan masih merupakan barang mewah yang sangat sulit didapatkan, apalagi oleh masyarakat biasa(tak mampu). Lantas bagaimana langkah yang harus ditempuh negara ini untuk keluar dari lilitan problem pendidikan ini. Karena harus disadari baik buruknya pendidikan sangat berimplikasi terhadap maju mundurnya serta harkat dan martabat bangsa ini.
Tentunya pemerintah haruslah menyadari bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendasar bagi warganya. Pendidikan bukanlah sekedar kebutuhan sampingan, karena tanpa pendidikan martabat manusia tidak akan mulia. Dengan demikian negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya untuk mengecap pendidikan dengan mudah. Sayangnya, sejak merdeka hingga kini, pemerintah belum tampak sungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan. Indikasi paling menyolok adalah minimnya anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan di Indonesia tidak lebih dari 7% dari total pengeluaran pemerintah. Kita bandingkan dengan negara Malaysia yang anggaran pendidikannya mencapai 23%, Singapura 9%, Thailand 22% dan Filipina 20%.

Memang diakui kondisi ekonomi negara sedang morat-marit. Utang luar negeri Indonesia kini mencapai hampir 180 milyar dollar. Suatu jumlah yang sangat besar, dan tak terbayang cara melunasinya. Belum lagi utang pemerintah di dalam negeri untuk mencukupi program rekapitalisasi perbankan. Praktis 2/3 APBN saat ini digunakan hanya untuk membayar utang. Memang tidak mudah untuk menyelesaikan kemelut ekonomi yang sudah demikian kronis itu. Siapapun yang memerintah pasti akan menghadapi persoalan serupa.

Ada baiknya sebelum membuat keputusan untuk mengurangi subsidi pendidikan, semestinya pemerintah harus berusaha keras menekan anggaran belanja agar tidak defisit. Harus dibuat anggaran yang berimbang. Artinya harus dibuat rancangan pengeluaran yang disesuaikan dengan penghasilan. Bila penghasilan masih juga lebih sedikit dibanding dengan pengeluaran, maka pengeluaranlah yang harus dipangkas. Bila APBN sekarang defisit, maka harus dilakukan pemangkasan besar-besaran baik pada item-item belanja maupun pada besarannya. Pembayaran utang harus dijadwalkan kembali. Bila pemerintah bisa membuat rencana pengeluaran, berarti bisa pula mengurangi. Harus dibuat skala prioritas pengeluaran. Pengeluaran yang tidak terlalu mendesak dan hanya merupakan pemborosan harus dicoret dari daftar pembelanjaan.

Bila pengeluaran sudah tidak mungkin dikurangi, pemerintah semestinya mencari sumber penghasilan lain yang tidak menyengsarakan rakyat. Antara lain: 1)Menyita harta koruptor. Dalam skandal BLBI lebih dari Rp 164 trilyun uang negara menguap entah kemana. Pemerintah mestinya berupaya menarik kembali uang yang telah dikucurkan itu dengan menyita harta para koruptor yang telah melarikan harta negara dalam kasus tersebut. Uang sejumlah itu tentu sangat berarti di saat negara dalam kesulitan seperti sekarang ini. 2)Keteladanan Pemimpin. Untuk menghemat pengeluaran pemerintah, para pejabat harus mau berkorban dan memberi contoh penghematan kepada seluruh rakyatnya. Misalnya tidak perlu lagi ada baju dinas yang kadang memakan biaya milyaran rupiah. Cukup baju-baju biasa yang harganya murah. Bila perlu gaji yang diterima langsung disumbangkan kembali kepada rakyat. PM Malaysia Mahathir Muhammad, konon di saat puncak krisis, tidak mengambil gajinya sebagai PM selama
setahun. Bisakah cara serupa ditiru oleh pejabat di Indonesia? 3)Memanfaatkan Sumberdaya Alam. Pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah. Areal hutan Indonesia termasuk terluas di dunia. Belum lagi sumberdaya mineral, misalnya emas, batu bara, nikel dan minyak bumi. Harus ada strategi baru dalam pemanfaatan sumberdaya itu. Pemberian HPH kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan seperti yang dilakukan selama ini sudah terbukti salah. Demikian juga pemberian ladang konsesi kepada perusahaan-perusahaan asing untuk mengelola minyak, emas atau barang tambang lainnya. Hasilnya lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan itu ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan sumberdaya yang lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak
tahun 1973, konon lebih dari Rp 500 trilyun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapat pajak dan sebagainya, namun pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. 4)Membangun BUMN Profesional dan Efisien. Pemanfaatan secara optimal akan sumberdaya alam itu hanya mungkin bila BUMN yang menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan efisien. Sudah menjadi rahasia umum betapa di BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktek-praktek korupsi. Akibatnya bukan hanya dana itu tidak sampai ke tangan rakyat, BUMN itu juga mengalami kerugian. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan BUMN itu juga bisa berjalan dengan baik.

Dengan demikian kita berharap negara tidak lagi kedodoran dalam urusan keuangan. Tentu saja ini akan berimplikasi kepada kemampuan negara untuk memenuhi kewajibannya dalam memberikan pendidikan bagi warganya. Tidak lagi ada pengurangan subsidi, bahkan seharusnya pendidikan itu sepenuhnya diupayakan oleh negara. Sehingga mendatang tidak lagi terdengar adanya keluhan betapa mahalnya pendidikan kita. Sehingga harapan bahwa pendidikan itu seperti udara dan air dapat terwujud.

Tidak ada komentar: