Rabu, 27 Mei 2009

Mengenangmu

Mengenang 100 Hari Kepergian Mama Tercinta " Martina Retno Dewi"


Terasa kurang heboh saja tanpa kehadiranmu

Kala itu Fajar masih juga enggan keluar dari dekapan sang Malam

Bagai mimpi saat aku mendengar kabar kepergianmu

Airmata meleleh dipipi cerminan tangis di hati …….


Tak percaya …..

Tak percaya... benarkah kau pergi secepat ini

Masih terdengar tawa riang candaanmu …..

Masih mengalun suara nyanyianmu …..

Masih tergetar semangatmu...


Dalam sakitmu, engkau masih juga memikirkanku

Engkau tak lupa menasehati & memperhatikanku

Engkau selalu siap menjadi tumpuan jawaban bila aku perlu

Engkau selalu berusaha menjadi Wonder Women idolaku


Kini……. 100 hari sudah engkau kembali pada Sang Khaliq

Tiada lagi teman tempatku bertanya seperti dulu

Tiada lagi mama yang sekaligus menjadi Sahabat sepertimu

Tiada lagi canda tawa tulus khas sapaan darimu…….


Tapi ….aku ikhlas melepas kepergianmu

Aku yakin Tuhan akan menjagamu

Tuhan sangat mencintaimu

Nasehat, ketegaran & semangatmu akan terus menjadi tauladan bagiku

Pergilah Mamaku Tersayang, ….

Pergilah...

Temuilah Kekasih Sejatimu !


Selamat Jalan ………. Ibu!

Selamat Jalan ………. Mama !

Selamat Jalan ………. Ibu Kucingku !

Selamat Jalan ………. Wonder Womenku!!!!!


Tunggulah Aku disana

Tunggulah aku...

Tunggulah aku di alam Keabadian...



Ya ALLAH

Ampunilah segala dosa-dosanya

Limpahkanlah Rachmat kepadanya

Hapuskanlah segala kesalahannya

Muliakanlah tempatnya & Lapangkanlah pintu baginya

Maafkanlah segala kekhilafannya

Amin Ya Robalalamin !

Malang, 28 Mei 2009


Jumat, 15 Mei 2009

Pengalaman

Cuci Piring di SURGA

Yes I Can..!!!! Itulah seruan yang di ucapkan peserta seminar Financial Inteligence. Seminar ini dilaksanakan pada tanggal 8-9 Mei 2009 kemarin,di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Seminar yang bisa membawa kita dalam perubahan yang lebih baik. Dengan pemateri yang profesional dibidangnya. Beliau adalah Bapak Sultoni, dosen Universitas Negeri Malang, Jurusan Administrasi pendidikan (jurusanku dewe) wuehehehehe. Penyajian yang dikemas sangat menarik dan tidak membosankan membuat peserta seminar bersemangat.
Dengan bermodal uang Rp.10.000 aku bisa mengikuti seminar ini. Seminar yang dilaksanakan selama dua hari ini dibagi menjadi dua babak. Babak pertama dilakukan pada tanggal 8 Mei 2009, dilaksanakan pukul 13.00-18.00 WIB dengan sajian materi dasar. Kemudian babak kedua dilakukan keesokan harinya dengan agenda praktek dimana kita semua diharapkan membawa uang pecahan Rp. 2500. Tanpa terbayang apa-apa, ternyata uang tadi adalah modal kita untuk praktek bagaimana mendapat pekerjaan dan uang tanpa modal yang tidak terlalu besar. Atau bisa juga dikatakan mendapat pekerjaan tanpa modal. Mengapa demikian? Tahukah kalian?
Ternyata uang Rp.2500 tadi adalah modal kita untuk naik angkot!!! Kita dibawa ke Pasar Besar Kota Malang dan kita semua diharapkan bisa kembali lagi ke kampus degan membawa uang. Sempat terpikir dalam benakku “bagaimana aku bisa kembali ke kampus padahal uangku sudah habis untuk naik angkot?” mau menjual jam tangan,tapi jam tangan disita. Mau telepon kerumah minta uang, tapi Hp disita di kampus. Yang kita punya hanyalah baju yang kita kenakan? Masak ya iya aku harus menjual baju yang kukenakan? Wah itu gak mungkin lah!Bisa gawat tuh.... Setelah sampai di Pasar Besar, kita semua berlomba-lomba mencari pekerjaan dan berusaha mendapat uang tanpa minta-minta. Semua berusaha mencari pekerjaan. Ada yang membantu menjual kue,nasi bungkus,kerupuk,baju,entong nasi,hanger jilbab,serbet dll. Aku sempat sedih dan putus asa, banyak teman-temanku yang sudah mendapat pekerjaan, dan aku belum juga mendapat kannya. Setelah ditolak kesana kemari, aku terus berjalan mencari pekerjaan. Dan aku pun melihat ada sebuah warung yang ramai sekali pengunjungnya. Dengan muka memelas, aku melamar pekerjaan di warung itu. Alhamdulillah ibu yang baik hati pemilik warung itu mengijinkanku membantu beliau di warungnya. Aku bingung aku harus membantu apa. Dan yang kubisa hanyalah cuci piring. Ya sudahlah aku lakukan pekerjaan itu dengan senang hati selama 2 jam tanpa istirahat. Detik demi detik, jam demi jam sudah kulewati dan akupun akhirnya mendapat upah Rp.10.000. Serasa di surga,dengan waktu yang begitu singkat aku bisa mendapatkan pelajaran..Alhamdulillah dan akhirnya akupun bisa kembali ke kampus bersama teman-temanku. Setelah sampai di kampus, kita semua berkumpul kembali di Aula dan disana kita melakukan evaluasi. Seminar yang sangat menyenangkan ini terasa lengkap dan bermakna dengan ditutup sajian film The Power of Dream. Dimana film itu berisi tentang seseorang atau kelompok orang yang cacat fisik namun mereka dapat menjadi atlet yang sukses. Sungguh penglaman berharga untukku.Dan hal yang aku tangkap setelah mengikuti seminar ini adalah, kita harus bisa melakukan yang terbaik. Kita bisa, jika kita berpikir kita bisa. Orang yang cacat fisik bisa melakukan yang terbaik untuk dirinya. Sedangkan kita yang dikaruniai tubuh yang sempurna seharusnya kita bisa melakukan hal yang lebih baik dari mereka. Tak lupa kuucapkan terima kasih untuk Mama dan Papaku. Mama, Papa terima kasih karena sudah memberikan yang terbaik untukku....

Kamis, 14 Mei 2009

Puisi

Sepiku dan ...Mu


Malam ini aku kembali terdiam sendiri di sini

Termakan kembali oleh sunyinya malam ini

Dan akupun kembali hanya sendiri dan sendiri

Tak ada kawan di sini kecuali sepi yang menemani

Malam ini sepi kembali melanda dan menyerangku

Mengusik dan mengganggu ketenangan hati dan bathin

Terus mengusik dan mengusik ketenangan

Mengingat kembali pada semua kenangan

Dan mendatangkan rasa kesepian

Dan aku …….

Termakan oleh sepi yang kau hadirkan

Tenggelam dalam keegoisan

Terdiam dalam kegelapan

Dan kesepian ……

Aku di sini semakin terpuruk dan terpuruk

Dalam kesepian ini

Dalam kesendirian ini

Dalam keadaan yang sepi ini

Dalam sepiku dan sepimu.

Pendidikan

Hilangkan Anggapan Bahwa Pendidikan adalah barang Mewah


Maraknya perguruan tinggi negeri yang berlomba-lomba membuka jalur khusus dengan memasang tarif mahal memancing banyak reaksi masyarakat. Apalagi hal itu terjadi di tengah sulitnya perekonomian rakyat. Otonomi perguruan tinggi mengharuskan PTN-PTN untuk menghidupi diri sendiri. Memang subsidi pemerintah pusat berkurang drastis sejak perubahan statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Biaya studi tiap mahasiswa per tahun sebesar Rp 18 juta, sementara subsidi pemerintah hanya Rp 4 juta. Artinya ada kekurangan sebesar Rp 14 juta per mahasiswa per tahun yang harus ditanggung PT yang bersangkutan.

Kondisi inilah yang melandasi munculnya pembukaan jalur khusus yang menuntut sumbangan berkisar Rp 15 juta hingga Rp 150 juta yang oleh banyak kalangan dinilai sangat beraroma bisnis, tidak etis dan bisa menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Ini sungguh memprihatinkan. Untuk memperoleh pendidikan mesti dibayar dengan harga yang sangat mahal. Padahal pendidikan semestinya hak semua orang, namun kini telah menjadi ‘barang mewah’. Tidak semua orang mampu mengecap pendidikan yang baik, meski sebenarnya otaknya cemerlang.

Biaya pendidikan yang mahal itu ternyata bukan hanya monopoli pendidikan tinggi. Hampir semua sekolah yang baik (bermutu/unggulan) di semua tingkatan—dari TK, SD, SMP hingga SMU—kini juga mengenakan biaya yang tinggi. Untuk mendaftar di TK (unggulan) saja biayanya bisa mencapai ratusan ribu hingga beberapa juta rupiah. Apalagi untuk tingkat yang lebih tinggi. Persoalannya senada, bahwa subsidi pemerintah demikian kecil sehingga tak mampu menutup biaya operasional pendidikan. Jika sudah demikian maka biaya yang mahal tersebut dilimpahkan kepada peserta didik. Dengan biaya yang begitu mahal, tentu hanya anak orang-orang kaya saja yang bisa menikmati pendidikan yang baik (bermutu). Lalu bagaimana dengan anak-anak dari orang tua yang kurang mampu. Keluarga tak mampu ini justru jumlahnya bisa berlipat beberapa kali dibanding dengan jumlah mereka yang mampu.

Bagi institusi pendidikan hal ini memang cukup dilematis. Di satu sisi harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bantuan pemerintah yang semakin sedikit, dan di sisi lain harus tetap mempertahankan citranya sebagai lembaga pendidikan yang tetap harus memberikan tempat untuk mereka yang kurang mampu tetapi memiliki potensi. Harus diakui bahwa faktor biaya selama ini merupakan kendala utama bagi keluarga tak mampu untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Otak boleh cemerlang, namun bila tak ada uang, cita-cita pun hanya di awang-awang.

Tingkat pendidikan yang rendah bagi kebanyakan masyarakat Indonesia inilah yang menyebabkan SDM kita kurang mampu bersaing. Kita lihat, misalnya tenaga kerja kita—baik tenaga kerja wanita (TKW) maupun pria—yang bekerja di luar negeri. Kebanyakan mereka hanya sebagai pembantu rumah tangga, kuli atau tenaga kasar lainnya. Dibandingkan dengan tenaga kerja di sejumlah negara lain yang kondisi ekonominya hampir sama dengan Indonesia, kita ini sudah banyak ketinggalan. Tenaga kerja Filipina misalnya, kebanyakan adalah profesional di bidangnya—baik perawat maupun mekanik. Sedangkan Mesir, hampir semua tenaga kerjanya yang bekerja di luar negeri adalah tenaga-tenaga ahli: guru, dosen, dokter dan sebagainya. Keprofesionalan tenaga kerja selain akan menyumbangkan devisa negara yang lebih baik, juga tentu saja menyangkut harkat dan martabat suatu bangsa. Bagi negara Mesir, pendidikan sudah dianggap seperti udara dan air. Sesuatu yang mudah didapatkan. Dengan begitu, pendidikan adalah hak setiap orang, hak setiap warga. Karena itu mereka menggratiskan biaya sekolah dari sejak SD hingga universitas.

Namun di Indonesia, pendidikan masih merupakan barang mewah yang sangat sulit didapatkan, apalagi oleh masyarakat biasa(tak mampu). Lantas bagaimana langkah yang harus ditempuh negara ini untuk keluar dari lilitan problem pendidikan ini. Karena harus disadari baik buruknya pendidikan sangat berimplikasi terhadap maju mundurnya serta harkat dan martabat bangsa ini.
Tentunya pemerintah haruslah menyadari bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendasar bagi warganya. Pendidikan bukanlah sekedar kebutuhan sampingan, karena tanpa pendidikan martabat manusia tidak akan mulia. Dengan demikian negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya untuk mengecap pendidikan dengan mudah. Sayangnya, sejak merdeka hingga kini, pemerintah belum tampak sungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan. Indikasi paling menyolok adalah minimnya anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan di Indonesia tidak lebih dari 7% dari total pengeluaran pemerintah. Kita bandingkan dengan negara Malaysia yang anggaran pendidikannya mencapai 23%, Singapura 9%, Thailand 22% dan Filipina 20%.

Memang diakui kondisi ekonomi negara sedang morat-marit. Utang luar negeri Indonesia kini mencapai hampir 180 milyar dollar. Suatu jumlah yang sangat besar, dan tak terbayang cara melunasinya. Belum lagi utang pemerintah di dalam negeri untuk mencukupi program rekapitalisasi perbankan. Praktis 2/3 APBN saat ini digunakan hanya untuk membayar utang. Memang tidak mudah untuk menyelesaikan kemelut ekonomi yang sudah demikian kronis itu. Siapapun yang memerintah pasti akan menghadapi persoalan serupa.

Ada baiknya sebelum membuat keputusan untuk mengurangi subsidi pendidikan, semestinya pemerintah harus berusaha keras menekan anggaran belanja agar tidak defisit. Harus dibuat anggaran yang berimbang. Artinya harus dibuat rancangan pengeluaran yang disesuaikan dengan penghasilan. Bila penghasilan masih juga lebih sedikit dibanding dengan pengeluaran, maka pengeluaranlah yang harus dipangkas. Bila APBN sekarang defisit, maka harus dilakukan pemangkasan besar-besaran baik pada item-item belanja maupun pada besarannya. Pembayaran utang harus dijadwalkan kembali. Bila pemerintah bisa membuat rencana pengeluaran, berarti bisa pula mengurangi. Harus dibuat skala prioritas pengeluaran. Pengeluaran yang tidak terlalu mendesak dan hanya merupakan pemborosan harus dicoret dari daftar pembelanjaan.

Bila pengeluaran sudah tidak mungkin dikurangi, pemerintah semestinya mencari sumber penghasilan lain yang tidak menyengsarakan rakyat. Antara lain: 1)Menyita harta koruptor. Dalam skandal BLBI lebih dari Rp 164 trilyun uang negara menguap entah kemana. Pemerintah mestinya berupaya menarik kembali uang yang telah dikucurkan itu dengan menyita harta para koruptor yang telah melarikan harta negara dalam kasus tersebut. Uang sejumlah itu tentu sangat berarti di saat negara dalam kesulitan seperti sekarang ini. 2)Keteladanan Pemimpin. Untuk menghemat pengeluaran pemerintah, para pejabat harus mau berkorban dan memberi contoh penghematan kepada seluruh rakyatnya. Misalnya tidak perlu lagi ada baju dinas yang kadang memakan biaya milyaran rupiah. Cukup baju-baju biasa yang harganya murah. Bila perlu gaji yang diterima langsung disumbangkan kembali kepada rakyat. PM Malaysia Mahathir Muhammad, konon di saat puncak krisis, tidak mengambil gajinya sebagai PM selama
setahun. Bisakah cara serupa ditiru oleh pejabat di Indonesia? 3)Memanfaatkan Sumberdaya Alam. Pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah. Areal hutan Indonesia termasuk terluas di dunia. Belum lagi sumberdaya mineral, misalnya emas, batu bara, nikel dan minyak bumi. Harus ada strategi baru dalam pemanfaatan sumberdaya itu. Pemberian HPH kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan seperti yang dilakukan selama ini sudah terbukti salah. Demikian juga pemberian ladang konsesi kepada perusahaan-perusahaan asing untuk mengelola minyak, emas atau barang tambang lainnya. Hasilnya lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan itu ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan sumberdaya yang lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak
tahun 1973, konon lebih dari Rp 500 trilyun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapat pajak dan sebagainya, namun pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. 4)Membangun BUMN Profesional dan Efisien. Pemanfaatan secara optimal akan sumberdaya alam itu hanya mungkin bila BUMN yang menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan efisien. Sudah menjadi rahasia umum betapa di BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktek-praktek korupsi. Akibatnya bukan hanya dana itu tidak sampai ke tangan rakyat, BUMN itu juga mengalami kerugian. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan BUMN itu juga bisa berjalan dengan baik.

Dengan demikian kita berharap negara tidak lagi kedodoran dalam urusan keuangan. Tentu saja ini akan berimplikasi kepada kemampuan negara untuk memenuhi kewajibannya dalam memberikan pendidikan bagi warganya. Tidak lagi ada pengurangan subsidi, bahkan seharusnya pendidikan itu sepenuhnya diupayakan oleh negara. Sehingga mendatang tidak lagi terdengar adanya keluhan betapa mahalnya pendidikan kita. Sehingga harapan bahwa pendidikan itu seperti udara dan air dapat terwujud.